Dalam sebuah pengajian rutin yang diadakan di kampung, seorang warga bertanya kepada sang kiai soal aliran sesat yang bermunculan belakangan ini. Mulai Lia Aminuddin yang mengaku sebagai pasangan Malaikat Jibril hingga Ahmad Moshaddeq, Pengasasa Al Qiyadah al-Islamiyah yang mengaku sebagai rasul.
"Mengapa selalu saja ada aliran yang dianggap sesat dalam Islam?" tanya si warga kepada kiai yang di kampungnya dikenal sebagai guru Agama itu.
Sang kiai terdiam sesaat. "Enta pernah dengar kisah-kisah Abu Nawas?" tanya sang kiai. Yang ditanya menggelengkan kepalanya.
Suatu ketika, cerita kiai itu, Abu Nawas ditanya tiga orang dengan pertanyaan yang sama: "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil?"
Kepada orang pertama, Abu Nawas menjawab: orang yang mengerjakan dosa kecil. "Sebab, lebih mudah diampuni oleh Allah." Mendengar jawaban itu, orang pertama puas, lalu meninggalkan Abu Nawas.
Orang kedua, datang dengan pertanyaan sama mendapatkan jawapan berbeza dari Abu Nawas. "Yang paling utama adalah orang yang tidak melakukan keduanya. Tidak melakukan dosa besar, juga tidak melakukan dosa kecil," jawab Abu Nawas. "Dengan tidak melakukan keduanya, orang tidak perlu pengampunan dari Allah." Jawaban Abu Nawas ini membuat orang kedua puas, lalu pergi.
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil?" Pertanyaan ini juga dilontarkan oleh orang ketiga yang datang kemudian. Kepada orang itu, jawapan Abu Nawas kembali berbeza. "Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar," jawabnya. "Sebab, pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu," tambahnya lagi. Orang ketiga ternyata menerima alasan Abu Nawas.
Diam-diam, ketika Abu Nawas ditanya tiga orang itu, salah satu muridnya yang paling kritis memperhatikan dan dia agak keliru dah musykil. "Mengapa guru memberikan jawapan yang berbeza kepada ketiga-tiga orang yang datang dengan pertanyaan sama?" tanya murid itu.
Abu Nawas lantas menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia itu dibagi menjadi tiga tingkat: tingkat mata, otak, dan tingkat hati. Tingkat mata itu seperti halnya anak kecil yang melihat bintang di langit, lantas dia menyimpulkan bahwa bintang itu kecil, seukuran sebiji bola. Itu terjadi karena dia hanya menggunakan mata. Tingkat otak adalah orang yang berpengetahuan. Ketika melihat bintang di langit, dia mengatakan, bintang itu benda planet yang besar. Terlihat kecil sebesar sebiji bola kerana letaknya sangat jauh dari bumi.
"Lalu, apakah tingkat hati itu?" tanya murid itu lagi.
"Orang yang pandai dan mengerti. Dia tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil walau pun dia tahu bintang itu besar. Sebab, bagi orang yang mengerti, tidak ada sesuatu apa pun yang besar jika dibandingkan dengan ke-Maha Besar-an Allah.
Mendengar cerita tentang Abu Nawas tersebut, si warga tadi agak bingung.
"Apa hubungan antara aliran sesat dan cerita Abu Nawas?" tanya dia. Sang kiai kampung itu kembali terdiam. Setelah menghela napas panjang, dia menjelaskan bahwa maraknya aliran sesat yang muncul belakangan ini, termasuk semakin banyaknya orang yang mengaku sebagai nabi dan rasul, kerana mereka masih berada dalam tingkat mata. "Menyimpulkan ajaran agamanya berdasarkan apa yang dilihat."
Kalaupun naik, mungkin hanya sampai pada tingkatan otak. "Dia mempelajari sendiri ajaran agama, diolah di otaknya secara ikut sukanya, kemudian disimpulkan sendiri, tanpa mau bertanya kepada orang yang lebih arif," jelas sang kiai.
Lantas, dicontohkan kisah Ahmad Moshaddeq, si pendiri aliran Al Qiyadah al-Islamiyah. Moshaddeq yang bernama asli Abdussalam itu sebelumnya aktif melatih bulu tangkis mulai 1971-1982. Setelah tidak melatih, dia mempelajari Alquran secara otodidak.
Setelah itu, dia punya pemahaman dan keyakinan sendiri sehingga akhirnya mengaku telah mendapatkan wahyu kerasulan melalui mimpi saat berada di Bogor sekitar enam silam. Dia mengaku menerima wahyu setelah berpuasa siang-malam selama 40 hari. Selanjutnya, dia mendirikan Al Qiyadah al-Islamiyah dan mengaku sebagai rasul bergelar Al Masih al-Maw?ud.
"Apakah kita berhak memarahi mereka atau kalau perlu memusnahkan mereka agar tak menular kepada yang lain?" tanya si warga mulai emosional.
"Kita ini sudah telanjur menjadi bangsa yang salah tindakan dan mudah sekali marah. Ketika mengadili seseorang yang dianggap bersalah, sering tak dilihat kesalahannya apa. Yang terjadi, dipukul rata," jelasnya.
"Mereka itukan sebenarnya sedang mencari jalan menuju Tuhan. Hanya cara mereka sahaja yang salah. Tapi, kita memperlakukan mereka tak ada bezanya dengan pencuri ayam. Dikejar-kejar, kemudian dihukum atau diserahkan kepada polis."
Penjelasan sang kiai kampung itu membuat si warga tadi mulai mengerti. "Bererti para penghukum masih perlu menghormati dalam melakukan timbangan keatas orang yang "hanya" salah dalam memahami agama. Padahal, dengan memusnahkankan jelas-jelas merugikan negara?" kata si warga, merespons penjelasan kiainya.
Sang kiai pun bernafas lega. Dia bersyukur dapat menjelaskan persoalan berkenaan aliran sesat kepada warganya, meski dengan bahasa kampung. Labels: Cerita-cerita yg ada hikmahnya |